Hindari diagnosa diri, hadapi dengan profesional

‘Saat kamu lagi asyik scroll untuk sekedar melepas lelah, medsos yang sedang kamu gunakan memunculkan postingan tentang sebuah gejala penyakit, entah itu penyakit fisik maupun psikis. Nah, terus kamu mikir nih, “keknya ada beberapa gejala yang sama dengan yang aku alami sekarang nih, jangan-jangan..”. Karena mulai terpancing, kamu scroll lagi, search lagi sampai ketemu hal yang serupa. Sampai akhirnya, kamu menyimpulkan kamu menderita (penyakit) ini’

Pernahkan kamu secara tidak langsung melakukan hal tersebut? Jika iya, maka kamu sepatutnya berhenti melakukan hal demikian. “Kenapa?” Karena ada dampak buruk yang akan muncul di kemudian hari.

Sikap demikian disebut dengan “Self-diagnosis”.Self-diagnosis adalah mendiagnosis diri sendiri mengidap sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri. Saat melakukan self-diagnosis, sebenarnya kamu sedang berasumsi seolah-olah kamu mengetahui masalah kesehatan yang dialami.

Dalam wawancara Tim Humas UIR, salah seorang Dosen Fakultas Psikologi UIR Nindy Amita, S.Psi., M.Psi., Psikolog membenarkan pernyataan, bahwa Self-diagnosis sangat membahayakan kesehatan mental. Karena apabila salah dalam mengambil kesimpulan akan gangguan mental atau penyakit yang dirasakan, treatment yang digunakan akan salah pula. Nindy juga menambahkan bahwa Self-diagnosis pada kesehatan mental berawal dari mendiagnosa diri sendiri berdasarkan informasi yang diperoleh secara mandiri.

Padahal, diagnosis suatu penyakit sebenarnya hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis, seperti dokter, psikiater, atau psikolog. Pasalnya dengan proses menuju diagnosis yang tepat kemudian sangatlah sulit. Ketika berkonsultasi dengan dokter, ia akan menetapkan diagnosis yang sebelumnya telah ditentukan berdasar riwayat kesehatan, gejala, keluhan, serta berbagai faktor lain yang sedang kamu alami. Tenaga medis profesional juga perlu mengulik lebih dalam dahulu seluk-beluk suatu masalah kesehatanmu sebelum akhirnya menetapkan diagnosis. Tak hanya itu, kamu bahkan bisa saja perlu menjalani pemeriksaan lanjutan dengan berbagai dugaan terhadap suatu penyakit yang tentunya tidak dapat disimpulkan begitu saja. Para ahli medis yang profesional saja memerlukan waktu lebih dari satu hari untuk menyimpulkan penyakit dari seseorang, kenapa kita yang hanya scroll beberapa menit dengan entengnya langsung menyimpulkan demikian?

Alasan Orang Melakukan Self Diagnosis

Sebenarnya ada beberapa orang melakukan self diagnosis, diantaranya yaitu:

  • Infodemi, banyaknya informasi, berita di internet yang tidak memiliki dasar ilmiah yang secara tidak langsung diterima mentah-mentah oleh orang awam.
  • Rasa ingin tahu yang butuh cepat dipenuhi. Terutama saat salah satu symptom (gejala) yang tertera mewakili perasaan yang dialami, dipastikan kita secara tidak langsung tertarik dan “terobsesi” dengan ‘penyakit’ tersebut.
  • Takut ke profesional, kekhawatiran datang ke profesional kesehatan jiwa karena stigma (penilaian negatif dari orang lain), biaya, dll.
  • Tren, adanya romantisme tentang kesehatan jiwa yang sedang tren dan kekinian. Dengan adanya medsos yang mempermudah segalanya, tidak terkecuali tren yang rutin bergantian menghampiri dan mewarnai layar gadget.

Sebenarnya si ya, alasan utama kita kenapa self diagnosis itu karena pas “kondisi” kita lagi down, atau mungkin karena kegabutan yang tiada henti. Pas momentum itu sedang muncul, secara spontan kan kita otomatis pegang hp, dan mulai main medsos. Scroll sana sini, like sana sini, sampai akhirnya kita menemukan postingan yang menurut kita menarik. Misalnya, “Gejala bipolar yang harus diwaspadai”. Pertama baca judulnya sih ngga menarik ya, seperti cuman gambar peta konsep buatan para siswa SMP-SMK. Ketika kita mulai baca sekilas bagian deskripsinya, “Kok mirip ya?”. Itu pasti hal pertama yang muncul di benak kita. Mungkin karena perubahan suasana yang kita ambil sebagai gejala pertama, mungkin juga karena energi yang naik turun. Padahal kalau di perempuan sih ya karena efek hormon, kalau laki-laki karena memang baterai sosial habis. Sebenarnya, bipolar itu suatu penyakit yang bisa dibilang sulit untuk diagnosis, bahkan untuk seorang profesional sekalipun. Menurut Halodoc pun, sebagian orang yang didiagnosa menderita bipolar harus menemui setidaknya tiga orang ahli untuk menyimpulkan penyakit tersebut dialami oleh pasien atau tidaknya, ribet kan?

Bahaya Melakukan Self Diagnosis

Reaksi seseorang bisa berbeda-beda jika mereka melakukan Self diagnosis, seperti:

  • Under diagnosis, mengabaikan penyakit yang sebenarnya berat sehingga berakibat fatal. Self diagnosis bisa mengakibatkan seseorang meremehkan efek-efek yang akan dialami, karena mereka “paham” dengan penyakit yang dideritanya, sehingga mereka tidak ada dorongan untuk melakukan penyembuhan.
  • Over diagnosis, menjadi takut dan panik karena merasa sudah terkena penyakit yang berat. melakukan self diagnosis juga dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan depresi, serta meningkatkan risiko perilaku berbahaya seperti menyakiti diri sendiri, atau bahkan mencoba bunuh diri.
  • Misdiagnosis, diagnosis yang salah yang berdampak pada penanganan yang salah dan mencari pertolongan ke tempat yang tidak tepat
  • Salah terapi. Berusaha sendiri mencari terapi yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, berakibat memperparah kondisi baik fisik atau psikis.

Selain berdampak pada diri sendiri, proses diagnosis diri juga dapat menimbulkan stres dan kecemasan pada orang-orang terdekat. Orang lain bisa jadi semakin khawatir jika kamu memiliki penyakit mental, meskipun pada kenyataannya tidak demikian.

Selain itu, stigma buruk di masyarakat bisa membuat orang merasa malu untuk mencari bantuan psikolog atau psikiater akan membuat kondisi berkembang semakin parah dan membuatnya jadi lebih sulit diobati.

Tips Mencegah Self Diagnosis

Berikut beberapa hal yang sebaiknya dilakukan daripada self-diagnosis:

  • Self Diagnosis NO, Self Awareness YES. Kita cukup waspada dengan gejala yang memang kita rasakan, tidak perlu dianggap serius, cukup jadikan bahan pengetahuan dan bekal ketika konsultasi dengan ahli medis.
  • Tidak melakukan tes Kesehatan jiwa dari sumber yang tidak kredibel, kunjungi www.pdskji.org untuk melakukan swap periksa masalah psikologis secara online
  • Tidak melakukan Self Diagnosis melalui media sosial (Tiktok, Instagram, Youtube, dll.)
  • Tidak membandingkan gejala dengan orang lain. Setiap orang memiliki kondisi fisik dan psikis yang berbeda, jangan disamakan apalagi dibandingkan, karena itu hanya menambah beban pikiran dan memperparah kondisi.

Segera konsultasi ke profesional kesehatan jiwa bila mengalami gejala gangguan jiwa agar mendapat diagnosis yang pasti dan terapi yang cepat dan tepat.

  •  

Jika dilihat dari sisi lain, self diagnosis bisa berupa bentuk kepedulian terhadap diri sendiri dan sikap cermat akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Akan tetapi, bentuk kepedulian ini akan sia-sia jika pada akhirnya malah membahayakan diri sendiri

Kamu tetap bisa mencari informasi mengenai keluhanmu atau solusi apa yang terbaik untukmu. Namun, jadikan ini sebagai bekal untuk berdiskusi dengan dokter, bukan self diagnosis, agar kamu benar-benar mengerti apa yang terjadi pada dirimu dan mendapatkan pengobatan yang tepat.

Sumber:

https://uir.ac.id/newsfakultas/bahaya-self-diagnosed-terhadap-kesehatan-mental?utm

https://www.alodokter.com/bahaya-melakukan-self-diagnosis-untuk-kesehatan?utm

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1436/bahaya-melakukan-self-diagnosis-gangguan-jiwa?utm

https://fkm.unair.ac.id/kesehatan-mental-bahaya-fenomena-self-diagnosis-generasi-muda/?utm

https://www.halodoc.com/artikel/waspada-ini-bahaya-self-diagnosis-kondisi-kesehatan-mental?utm

https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-self-diagnosis-yang-berpengaruh-pada-kesehatan-mental?utm

https://images.app.goo.gl/cDRmznFyCMSSypye9

Author : Monica Nurariziki ( XI AKL 1 )

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *