Membangun Masa Depan Bangsa Lewat Pendidikan Berkualitas

Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ini bukan cuma acara rutin atau upacara setiap tahun, tapi momen penting untuk mengingat betapa besar arti pendidikan bagi kemajuan bangsa. Tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan hari lahir Ki Hajar Dewantara, tokoh yang sangat berjasa dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi semua rakyat Indonesia.

Melalui peringatan ini, kita diajak untuk melihat lagi bagaimana perjalanan dunia pendidikan di Indonesia. Apa saja yang sudah dicapai, dan masalah apa yang masih harus diselesaikan. Hardiknas bukan hanya milik guru dan murid, tapi jadi tanggung jawab kita semua. Sebagai orang tua, pemimpin, warga negara, bahkan anak muda, kita punya peran untuk mendukung pendidikan yang lebih baik. Karena masa depan bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan yang kita berikan hari ini.

Tokoh yang sering disebut Bapak Pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara , memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau lahir di Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889 dan wafat pada 26 April 1959. Perjuangan nya sebagai pelopor pendidikan kaum pribumi pada masa penjajahan belanda, menjadi inspirasi lahirnya pendidikan yang merata.

Ki Hajar Dewantara pernah menulis artikel terkenal, berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” atau “Als ik eens Nederlander was” dimuat dalam surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913. Artikel ini berisi kritik terhadap rencana pemerintah kolonial Belanda yang ingin mengumpulkan dana dari rakyat Hindia Belanda untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis. Artikel yang beliau tulis menyebabkan beliau diasingkan, dan menegaskan sikap kritisnya terhadap ketidakadilan pendidikan dan sosial.

Setelah kembali dari pengasingan, Ki Hajar Dewantara memperjuangkan hak rakyat pribumi untuk memperoleh pendidikan. Prinsip ini menjadi dasar filosofi Tut Wuri Handayani, yaitu memberi dorongan dari belakang agar peserta didik berkembang secara mandiri. Pada masa kolonial, hanya kaum bangsawan dan orang-orang Belanda yang hanya bisa mengenyam pendidikan. Sebagai seorang bangsawan Jawa, Ki Hajar Dewantara justru memilih memperjuangkan pendidikan untuk rakyat pribumi, melalui Perguruan Nasional Taman Siswa yang beliau dirikan pada 3 Juli 1992 di Yogyakarta.

Hari Pendidikan Nasional bukan hanya soal mengenang tokoh, tapi saat yang tepat untuk bertanya: apakah pendidikan kita sudah membuat siswa merasa aman untuk bertanya, berpikir, dan bermimpi? Perubahan mungkin belum sempurna, tapi setiap langkah kecil dari guru, murid, dan sekolah adalah harapan. Karena inti pendidikan bukan hafalan, melainkan pemahaman, pertumbuhan, dan makna.

Dengan memahami hal ini, penting bagi para siswa dan guru untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan sesuai dengan perumpamaan “jika seorang murid belajar tentang sistem tata surya. Bukan hanya menghafal nama-nama planet, tapi ia benar-benar memahami bagaimana planet bergerak mengelilingi matahari, lalu bertanya-tanya kenapa Pluto tidak lagi disebut planet, dan akhirnya membuat miniatur tata surya dari barang bekas.

Itulah pendidikan yang bermakna: bukan sekadar hafal, tapi mengerti, tumbuh rasa ingin tahu, dan menghasilkan sesuatu dari pembelajaran itu”.

Sumber :

Wikipedia. (2025, 16 April). Ki Hadjar Dewantara. Diakses pada 22 April 2025 dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara

Penulis : Kayla Azalea Putri A, Maria Amelia E.S, Quartita Annisa R.S

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *