Sejarah dan Nilai Luhur Stupa Sumberawan

Daftar Isi

Latar Belakang

Bangunan peninggalan Buddha yang terletak di ujung kaki Gunung Arjuna, Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang memiliki keunikan tersendiri yang menjadi karakteristik bangunan ini. Bentuk yang menyerupai puncak atau stupa Candi Borobudur, keyakinan ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah arca Budha sekitar 500 meter dari bangunan stupa. Batu-batu tersebut biasanya digunakan sebagai tempat berdoa umat agama Budha yang biasa disebut dengan Sogo. Karena kesamaan tersebut, bangunan ini disebut Stupa Sumberawan.

Stupa Sumberawan tidak memiliki tangga naik ataupun ruangan untuk mengakses dan menyimpan benda suci, Stupa Sumberawan juga merupakan satu-satu nya peninggalan Buddha di Jawa Timur.

Stupa Sumberawan sendiri diperkirakan sudah ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada Kerajaan Majapahit. atau sekitar abad ke-14 M. (Balai Pelestarian Cagar Jawa Timur, Maret 2022). Dijelaskan oleh Titisari di dalam Syamsun Ramli halaman 34, Stupa Sumberawan diyakini pada masa lampau, digunakan sebagai tempat Raden Wijaya untuk mengasingkan diri dan bersemedi sebelum mendirikan Majapahit.

Menurut salah satu sejarawan, pada Cagar Budaya yang dijelaskan oleh Lutfi (2022) nama Sumberawan berasal dari Bariawan atau Bhariwahana bahasa Sansekerta, yaitu Panunggang Merak yakni sang Buddha. Namun, masyarakat sekitar seringkali menyebutnya Stupa ‘Sumber Rawan’ karena terletak di dekat telaga yang sangat bening airnya. Bahkan, dulunya ada yang menduga bahwa daerah ini disebut Kasurangganan yang dipenuhi oleh bidadari atau malaikat Garden Of Angels. Daerah ini pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada 1359 M, ketika pergi ke Singosari. Hal ini diberitakan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang disebut pada 35 bait 4. Sebelum Stupa Sumberawan didirikan, Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Kasurangganan. Pada saat itu, daerah Singosari merupakan tempat bermukim para pendeta Siwa-Buddha. Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904 oleh masyarakat, kemudian tahun 1935 Dinas Purbakala Hindia Belanda melakukan pengkajian atas bangunan tersebut, dan pada tahun 1937 berhasil dilakukan pemugaran di bagian kakinya. Menurut para ahli bangunan ini didirikan pada abad XIV M.

Letak Stupa Sumberawan yang berada di kaki Gunung Arjuna, tentunya memiliki beberapa sumber mata air yang mengelilingi Stupa Sumberawan, salah satunya ialah Tirta Amertha. Sumber mata air ini dinamakan Tirta Amertha, di balik nama ini, terdapat kisah masa lampau yang saat ini masih diyakini oleh masyarakat Desa Toyomarto. Pada saat pembangunan Stupa Sumberawan, masyarakat menemukan peristiwa-peristiwa aneh yang ditimbulkan oleh sumber mata air Amertha. Sumber air Stupa Sumberawan dapat menghidupkan kembali manusia yang sudah meninggal, dengan cara mandi di dalam kolam sumber mata air Amertha. Namun, hal ini hanyalah legenda belaka, peneliti belum menemukan bukti pasti terjadinya peristiwa tersebut.

Sumber Air Suci

Menurut Titisari di dalam Samsyun Ramli (2018:36) mitos atau legenda yang dilahirkan oleh pendahulu, seperti terkabulnya doa yang dipanjatkan oleh sebagian orang yang berdoa, mandi, dan meminum air kini masih dipercaya dan dihargai oleh masyarakat sekitar. Kolam tersebut dikenal sebagai Sendang Penguripan, hal ini memperkuat keyakinan, bahwa mata air yang memancar di halaman stupa tersebut adalah Tirta Amerta.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumya, diterangkan oleh Agus (2023) bahwasannya, pada bagian atas Stupa Sumberawan terdapat Genta yaitu peninggalan yang dipercayai termasuk dalam aliran Siwa-Hindu. Menurut Berkala Arkeologi Kemendikbud, (1985) Genta digunakan ketika pertama kali berkembangnya agama Hindu dan Budha di Indonesia. Umumnya, Genta digunakan sebagai perlengkapan sebuah vihara, kalung untuk hewan peliharaan dan digunakan oleh pendeta sebagai salah satu perlengkapan.

Struktur Bangunan

Stupa ini dibuat dari andesit dengan ukuran panjang 6,25 m lebar 5,25 m dan tinggi tersisa 5,23 m, berdiri di atas ketinggian 650 m di atas permukaan laut pada kaki Gunung Arjuna. Bagian puncaknya masih belum sempurna, karena para ahli belum bisa menemukan bentuk yang pas. Batu-batu yang seharusnya berada di puncak Stupa Sumberawan, kini dibiarkan begitu saja di sisi taman, dikarenakan sebelum proses pemugaran ada pra pemugaran bangunan suci ini, tidak memiliki ukiran apapun juga tidak ada tangga naik, sehingga tidak ada akses untuk melihat puncak yang sudah runtuh. Selain itu, pada bagian tengah Stupa Sumberawan, tidak memiliki ruang kosong untuk menyimpan prasasti suci seperti candi-candi pada umumnya. Stupa Sumberawan hanya padat dengan batu
Stupa melambangkan nirbana (kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa dharma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gautama dan menjadi tujuan setiap umat Buddha. Stupa Sumberawan memiliki 3 bagian, yaitu terdiri dari Arupadhatu, Rupadhatu, Kamadhatu. Berikut makna dari tiap bagian Stupa Sumberawan, menurut Wirasanti, Niken (563).

Arupadatu

Arupadatu digambarkan dengan bentuk bulat lingkaran. Dalam kosmologi Buddha, Arupadhatu menjadi simbol alam atas, tempat tertinggi yang dihuni oleh para dewa. Arupadhatu juga merupakan penggambaran dari unsur tak berwujud dan sebagai tanda kemurnian tertinggi telah dicapai dengan meninggalkan nafsu duniawi. Arupadatu sendiri, merupakan bagian puncak dari Stupa Sumberawan. Hingga saat ini, bangunan tersebut belum dapat disusun kembali, namun batu-batu sisa rekonstruksi tetap digunakan untuk berdoa sebagai tanda pendharmaan masyarakat sekitar Stupa Sumberawan kepada para leluhur. Akan tetapi, menurut Emi Y (2017:4) puncaknya Stupa Sumberawan tidak utuh.

Menilik batu-batu reruntuhan stupa yang masih cukup banyak, diperkirakan Stupa Sumberawan memiliki ‘selimut luar’ yang melingkupi kubahnya, dan tingginya masih sekitar 2-3 meter. Reruntuhan puncak stupa itu menjadi ‘altar’ karena merupakan bagian paling suci, diletakkan di sebelah utara candi. Mereka yang berdoa meletakkan dupa, bunga, dan persembahan lainnya di reruntuhan batu puncak sekaligus menghadap candi. Ketiadaan relik atau abu jenazah di dalam stupa Sumberawan, sebagaimana stupa-stupa pada umumnya, menjadi kunci bagi hubungan candi dengan sumber air. Menurut Titisari dalam Samsyun Ramli (2017:34), puncak stupa merupakan simbol nirvana (moksa, manunggaling kawula lan Gusti).

Rupadhatu

Rupadhatu digambarkan bidang segi delapan merupakan tubuh Stupa Sumberawan. Dalam kosmologi Buddha, Rupadhatu melambangkan keterkaitan alam dengan manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, namun masih terikat oleh dunia nyata. Secara keseluruhan, bagian tubuh Stupa Sumberawan pada bagian tengah tidak memiliki ruang untuk menyimpan benda suci seperti candi pada umumnya. Stupa Sumberawan padat dengan susunan batu.

Kamadhatu

Kamadhatu digambarkan bidang segi empat. Secara umum, dalam kosmologi Buddha, Kamadhatu menggambarkan perilaku manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi. Secara sederhana, Kamadhatu adalah simbol alam dunia manusia yang terlihat saat ini. Kamadhatu Stupa Sumberawan merupakan bagian dasar atau akhir dari Stupa Sumberawan. Pada batur stupa yang tinggi terdapat selasar, kaki candi yang memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki stupa yang terdiri lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan padma (bunga teratai merah), sedangkan bagian atas berbentuk genta yang puncaknya telah hilang. Stupa Sumberawan memiliki ciri khas tersendiri yaitu disusun di atas batur bertingkat, tidak memiliki tangga, dan ruangan serta hiasan, berada di antara 2 (dua) telaga.

Sarana Ibadah

Masyarakat penganut agama Buddha, masih melaksanakan pendharmaan kepada sang leluhur. Hal ini, dibuktikan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (2016), menjelaskan bahwasannya pada tahun 2015 lalu, ketika mendekati Waisak, seluruh umat beragama Buddha terdekat, melaksanakan ritual dengan ajakan dari para Biksu SAKIN ( Saka Agung Indonesia). Ritual ini disebut dengan Pradaksina, yang dilakukan dengan mengelilingi Stupa Sumberawan sebanyak 3 kali dengan khidmat, searah dengan arah jarum jam, syarat untuk melakukan ritual ini adalah, adanya stupa atau relief, sebagai objek untuk berdoa. Dan Stupa Sumberawan memenuhi persyaratan tersebut, sehingga masyarakat memilih Stupa Sumberawan untuk merayakan Trisuci Waisak. Disebutkan pada kitab Tripitaka, makna dari ritual Pradaksina ialah Buddha-Dharma-Sangha, atau ajaran dari sang Buddha.

Maka, berdasarkan penjelasan diatas, Pradaksina dilakukan dengan tujuan penghormatan atau sebagai bentuk pelestarian tradisi dari leluhur. Tidak hanya sekadar dengan mengelilingi secara khidmat, namun dilaksanakan dengan membawa peralatan untuk berdoa, antara lain, air suci, bunga sedap malam, lilin, dan dupa, dilengkapi dengan pakaian ibadah dan patung Buddha, diiringi dengan lantunan doa dalam bahasa Pali. Ruang ritual yang digunakan pada Upacara Pradaksina ini adalah Stupa Sumberawan sebagai simbol agama Buddha. Telaga mata air tidak menjadi ruang ritual pradaksina ini. Titisari dalam Samsyun Ramli (2018:35) mengatakan bahwasannya, khasiat air telaga mata air tidak mempunyai hubungan dengan ritual Pradaksina di Stupa Sumberawan.

Selain digunakan sebagai sarana keagamaan, Stupa Sumberawan juga dimanfaatkan masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi saat ini. Stupa Sumberawan digunakan sebagai tempat wisata, yang kini banyak dikunjungi oleh kalangan pelajar maupun turis. Lingkungannya yang kental akan alam dilengkapi dengan indah nya pohon-pohon hijau yang rindang, membuat suasana asri dan tenang mendukung tempat ini dijadikan objek wisata.

Ditulis oleh : Revalina Mutiara Puspa