Gita berdiri di depan cermin, memperhatikan bayangan dirinya yang mengenakan seragam sekolah dengan lencana “Pejuang Literasi” yang tersemat di dadanya. Hari itu adalah hari besar bagi Gita. Setelah berminggu-minggu persiapan, dia akhirnya akan meluncurkan program kerja yang dirancangnya sebagai Ketua Pejuang Literasi di sekolah. Di usianya yang baru menginjak 16 tahun, Gita sudah dikenal sebagai seorang yang penuh dedikasi terhadap dunia literasi. Sejak kecil, ia selalu tenggelam dalam buku, menjelajahi dunia-dunia baru yang tersusun dari kata-kata. Namun, hasratnya bukan hanya untuk membaca; Gita ingin berbagi cinta terhadap literasi dengan orang lain, khususnya teman-teman sebayanya.
“Ini bukan hanya tentang membaca,” gumam Gita pada dirinya sendiri. “Ini tentang membuka pintu ke dunia yang lebih luas, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bermimpi dan berprestasi.”
Hari itu, di aula sekolah, Gita akan mempresentasikan program kerja yang diberinya nama “Literasi Mengukir Prestasi”. Program ini bertujuan untuk meningkatkan minat baca dan menulis di kalangan siswa, serta mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai lomba literasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Aula dipenuhi siswa dan guru. Suasana ramai dengan bisikan-bisikan penasaran tentang apa yang akan Gita sampaikan. Dengan sedikit gemetar, Gita melangkah ke podium. Namun, ketika matanya menangkap tatapan penuh harapan dari rekan-rekan dan gurunya, kegugupannya sirna. Ia mulai berbicara dengan penuh keyakinan.
“Selamat pagi, teman-teman dan guru-guru yang saya hormati. Hari ini, saya ingin mengajak kalian semua untuk bergabung dalam sebuah perjalanan. Perjalanan di mana kita bersama-sama akan menjelajahi dunia literasi, dan melalui itu, kita akan mengukir prestasi yang akan membawa kita ke puncak-puncak baru…”
Sebulan setelah peluncuran “Literasi Mengukir Prestasi”, antusiasme mulai terlihat di kalangan siswa. Gita bersama tim Pejuang Literasi mulai mengadakan berbagai kegiatan, mulai dari pojok baca, lomba menulis cerpen, hingga diskusi buku. Namun, seperti layaknya sebuah perjalanan, jalan yang mereka tempuh tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Gita adalah mengubah pola pikir teman-temannya yang menganggap membaca dan menulis sebagai kegiatan yang membosankan. Di era gawai dan media sosial, buku seolah kalah bersaing. Gita harus mencari cara agar literasi menjadi sesuatu yang menarik, bukan sekadar kewajiban sekolah. Suatu hari, dalam pertemuan mingguan tim Pejuang Literasi, Gita mengajukan sebuah ide.
“Aku berpikir, bagaimana kalau kita membuat literasi ini menjadi lebih interaktif dan relevan dengan kehidupan sehari-hari?” usulnya.
“Bagaimana caranya?” tanya Fiona, salah satu anggota tim.
“Kita bisa memadukan literasi dengan teknologi. Misalnya, membuat blog sekolah di mana semua siswa bisa menulis dan berbagi cerita mereka. Atau membuat video review buku yang diunggah di platform YouTube sekolah. Dengan begitu, literasi menjadi lebih hidup dan menarik,” jelas Gita dengan semangat.
Timnya menyetujui ide tersebut. Mereka pun mulai mengimplementasikan konsep literasi digital yang terintegrasi dengan teknologi. Mereka meluncurkan blog sekolah, kanal YouTube, dan mengadakan pelatihan menulis kreatif yang dihadiri banyak siswa. Namun, tidak semua siswa merespon positif. Beberapa masih merasa skeptis dan enggan terlibat. Gita tidak menyerah. Ia mendekati siswa-siswa yang tampak tidak tertarik secara pribadi, berbicara dengan mereka, mencoba memahami alasan di balik sikap mereka. Salah satunya adalah Rama, seorang siswa yang dikenal suka membolos dan tidak pernah terlihat membawa buku.
“Aku tidak pandai membaca, apalagi menulis,” ujar Rama ketika Gita mengajaknya bergabung.
“Setiap orang memiliki cerita yang layak untuk diceritakan, Rama. Kamu hanya perlu menemukan cara untuk menceritakannya,” jawab Gita dengan senyum hangat.
Rama akhirnya setuju untuk mencoba, meskipun dengan setengah hati. Gita memberinya beberapa buku yang mungkin menarik minatnya, dan perlahan-lahan, Rama mulai terlibat. Program “Literasi Mengukir Prestasi” tidak berjalan tanpa hambatan. Pada awalnya, blog sekolah dan platform YouTube mereka memang mendapatkan perhatian, tetapi seiring berjalannya waktu, minat siswa mulai menurun. Gita dan timnya mulai khawatir bahwa upaya mereka akan berakhir sia-sia.
Suatu hari, ketika sedang merenung di perpustakaan, Gita didatangi oleh Pak Heron, guru bahasa Indonesia yang juga menjadi mentor bagi Pejuang Literasi.
“Gita, apa yang membuatmu gelisah?” tanya Pak Heron.
“Pak, saya khawatir program ini tidak berjalan sesuai harapan. Minat siswa tampaknya menurun, dan saya tidak tahu harus melakukan apa lagi,” jawab Gita dengan nada putus asa.
Pak Heron tersenyum lembut. “Gita, dalam setiap perjuangan, ada pasang surutnya. Yang penting adalah bagaimana kamu menghadapi tantangan itu. Mungkin saatnya kamu untuk mencoba pendekatan baru.”
Gita merenungkan kata-kata Pak Heron. Dia sadar bahwa mungkin dia terlalu fokus pada hal-hal besar, sementara lupa pada hal-hal kecil yang justru bisa memberikan dampak besar. Keesokan harinya, Gita mengadakan pertemuan tim dan mengusulkan ide baru. Mereka akan fokus pada individu, mengadakan sesi mentoring di mana setiap anggota tim Pejuang Literasi akan membimbing beberapa siswa secara personal dalam membaca dan menulis. Dengan cara ini, mereka bisa membantu siswa lebih dekat, dan secara perlahan meningkatkan minat mereka terhadap literasi.
Strategi ini mulai membuahkan hasil. Para siswa merasa lebih dihargai dan didukung. Mereka mulai berpartisipasi dengan lebih aktif, dan beberapa bahkan menunjukkan kemajuan yang signifikan. Rama, yang sebelumnya tampak tidak tertarik, berhasil menulis sebuah cerita pendek yang mengharukan, dan karyanya dipublikasikan di blog sekolah.
Pada akhir tahun ajaran, program “Literasi Mengukir Prestasi” telah menunjukkan hasil yang luar biasa. Minat siswa terhadap membaca dan menulis meningkat secara signifikan, dan banyak dari mereka yang mulai berani untuk berkompetisi dalam lomba-lomba literasi di tingkat kabupaten. Salah satu momen puncak dari program ini adalah ketika sekolah mereka berhasil memenangkan lomba menulis cerpen tingkat provinsi. Cerpen yang ditulis oleh Rama, yang berjudul “Sang Pejuang Pena,” berhasil meraih juara pertama. Ceritanya tentang seorang anak yang awalnya tidak suka membaca, tetapi kemudian menemukan kekuatan dalam literasi dan menjadi pejuang pena yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Kemenangan ini tidak hanya membanggakan bagi Rama, tetapi juga bagi seluruh sekolah. Prestasi ini menjadi bukti bahwa usaha keras dan ketekunan bisa mengubah sesuatu yang tampaknya tidak mungkin menjadi kenyataan. Pada hari penghargaan, Rama maju ke atas panggung untuk menerima trofi. Sementara itu, di antara penonton, Gita merasa dadanya dipenuhi kebanggaan dan kebahagiaan. Ia menyadari bahwa perjuangan mereka selama ini tidak sia-sia.
Setelah acara selesai, Rama mendekati Gita dan berkata, “Terima kasih, Gita. Kalau bukan karena kamu, aku tidak akan pernah menemukan keberanian untuk menulis.”
Gita tersenyum. “Kamu yang menemukan keberanian itu sendiri, Rama. Aku hanya memberimu sedikit dorongan.”
Setelah sukses besar dari program “Literasi Mengukir Prestasi,” Gita dan timnya tidak berhenti di sana. Mereka terus mengembangkan program ini, menjadikannya bagian dari budaya sekolah. Setiap tahun, semakin banyak siswa yang terlibat, dan literasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Gita sendiri terus melanjutkan perjuangannya di dunia literasi. Setelah lulus, ia melanjutkan studi di jurusan sastra dan menjadi seorang penulis serta aktivis literasi. Pengalamannya sebagai Ketua Pejuang Literasi di sekolah menjadi landasan yang kuat bagi perjalanan hidupnya.
Rama, yang dulu merasa tak mampu, kini telah berubah menjadi seorang penulis muda yang berbakat. Ia menulis banyak cerita yang menginspirasi banyak orang, dan karyanya sering kali mengangkat tema tentang perjuangan dan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup. “Literasi Mengukir Prestasi” telah mengubah banyak hal, tidak hanya bagi Gita dan Rama, tetapi juga bagi semua siswa yang terlibat.
Literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga tentang mengukir prestasi, membuka pintu menuju dunia yang lebih luas, dan menemukan kekuatan dalam kata-kata. Pada akhirnya, Gita menyadari bahwa perjuangan mereka bukanlah sekadar tentang memenangkan lomba atau mendapatkan pengakuan. Itu adalah tentang memberikan setiap orang kesempatan untuk bermimpi, mengungkapkan diri, dan menemukan tempat mereka.