2030: Mencari Kemanusiaan di Kota yang Hilang

Debu jalanan Kota Malang beterbangan, bercampur asap dari pabrik-pabrik robot di utara. Dulu, tempat itu kebanggaan kota, sekarang hanya penjara bagi manusia-manusia yang tergusur. Semua bermula di tahun 2020-an, saat teknologi berkembang pesat, ekonomi global goyah, dan politik terpolarisasi. Krisis ekonomi menghantam, utang negara-negara besar membengkak, dan kepercayaan pada sistem keuangan global runtuh. Bank sentral mencetak uang tanpa kendali, memicu hyperinflasi. Sementara itu, AI dan robotika maju pesat, menggantikan pekerja manusia. Pengangguran massal melanda, jurang antara kaya dan miskin melebar.  

Pemerintah di berbagai negara menjadi represif. Teknologi pengawasan merajalela, kamera dan sensor mengawasi setiap sudut kota. Di tahun 2030, dunia berubah menjadi tempat yang suram. Ekonomi hancur, politik totaliter, dan AI menguasai hampir semua aspek kehidupan.  

Aku, Hendra, siswa SMK Negeri 12 Malang jurusan Teknik Komputer dan Jaringan, berjalan menunduk. Dulu sekolahku megah, sekarang temboknya kusam, catnya mengelupas, seperti semangat kami yang perlahan pudar.

“Hei, Ndra!” sapa Bayu, teman sekelasku, suaranya parau. “Ada kabar baru soal pembagian kupon pangan.”

Kupon pangan… pengganti uang yang harganya sudah tak karuan. Dulu aku bercita-cita jadi ahli jaringan, merancang sistem canggih. Sekarang, jangankan itu, pegang uang saja hampir tak pernah. Hyperinflasi benar-benar menghancurkan mimpi. Orang-orang sibuk bertukar barang, seperti zaman purba, atau nekat pakai kripto ilegal yang berbahaya.  

Di jalan, robot-robot patroli berbaris, mata merah mereka mengawasi setiap gerak-gerik kami. Dulu, aku kagum dengan kecanggihan AI, sekarang aku muak. Mereka mengambil pekerjaan kami, mengatur hidup kami. Pemerintah bilang ini efisien, demi kemajuan. Tapi kemajuan macam apa ini? Manusia tidak lebih dari angka dalam database.  

Teringat pelajaran sejarah di sekolah, tentang tahun 2020-an. Guru-guru bercerita tentang euforia teknologi, tentang kemudahan hidup. Mereka lupa memperingatkan bahayanya. Mereka terlalu sibuk menciptakan inovasi, tanpa memikirkan konsekuensinya. Sekarang, kami yang menanggung akibatnya.

“Ndra, lihat itu!” Bayu menunjuk layar besar di gedung Balai Kota. Wajah Walikota AI terpampang, matanya dingin, tanpa ekspresi. Dia mengumumkan peraturan baru: jam malam diperpanjang, kuota internet dikurangi.

“Katanya demi keamanan,” gerutu Bayu. “Tapi ini seperti penjara.”

Aku mengangguk lesu. Dulu, Malang kota pendidikan, kota bunga. Sekarang, kota pengawasan, kota robot. Aku rindu Arema di stadion Gajayana, rindu sejuknya Batu, rindu kebebasan. Tapi semua itu tinggal kenangan.

Di rumah, Ibu menyambut dengan senyum tipis. Wajahnya lelah, tapi matanya masih menyimpan harapan. “Ada lowongan kerja di pabrik robot, Ndra,” katanya. “Mungkin kamu mau coba?”

Aku terdiam. Kerja di pabrik robot? Mengkhianati ilmu yang kupelajari? Tapi aku juga tak mau jadi beban Ibu. Dunia memang sudah terbalik.

Malam itu, aku menatap langit Malang yang kelabu. Bintang-bintang bersembunyi di balik kabut polusi. Aku bertanya dalam hati, apakah masih ada harapan? Apakah dunia ini bisa diperbaiki? Atau kami hanya bisa pasrah pada takdir suram ini?

Yang jelas, aku tidak akan menyerah. Aku akan terus belajar, terus berjuang, demi secercah harapan di tengah kegelapan ini. Karena aku yakin, di balik semua kekacauan ini, masih ada jiwa manusia yang merindukan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan.

Semua ini terjadi bukan tanpa sebab. Aku ingat kata Pak Guru di sekolah dulu, tentang Pancasila. Dulu aku anggap itu hanya hafalan, sekarang aku mengerti betapa pentingnya nilai-nilai itu. Lihatlah, dunia hancur karena kita melupakannya. Kemanusiaan yang adil dan beradab? Lihatlah robot-robot itu, mereka memang efisien, tapi di mana rasa iba? Di mana empati? Persatuan Indonesia? Negara-negara sibuk dengan kepentingan sendiri, teknologi digunakan untuk menjajah, bukan menyatukan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan? Para pemimpin lebih memilih algoritma, lebih percaya pada angka daripada suara rakyat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Jurang kaya dan miskin menganga lebar, kesempatan hanya untuk segelintir orang.

Kita salah langkah. Kita terlalu terbuai dengan kemajuan, hingga lupa esensi menjadi manusia. Aku berharap, suatu hari nanti, kita bisa belajar dari kesalahan ini. Membangun kembali dunia yang lebih baik, dunia yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila. Dunia di mana teknologi menjadi alat untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk penindasan.

Penulis: HENDRA ANDIKA (X TJKT 1)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *