MENAKAR KEBERHASILAN PENDIDIKAN
Ada pertanyaan sederhana yang selalu menggelayut di benak saya. Sebenarnya apa yang menjadi barometer keberhasilan pendidikan nasional? Mari kita jawab satu persatu.
Jika target usia wajib belajar pendidikan dasar mencapai 100%, yang harus dilakukan adalah dengan memperbanyak gedung sekolah. Jangan lupa pula untuk menambah jumlah tenaga guru. Saya yakin target wajib belajar akan selesai dalam beberapa tahun.
Jika keberhasilan pendidikan diukur dari banyaknya yang lulus ujian nasional, mudah saja. Buat saja standard nilai sendiri. Luluskan semua atau biarkan apa adanya tapi tetap lulus. Siapa yang peduli? Adakah negara luar yang akan merecoki terhadap nilai rata-rata mata pelajaran siswa kita?
Jika barometernya adalah banyaknya lulusan Sarjana dari mulai S-1, S-2, S-3 sampai banyaknya jumlah profesor, ini juga tidak terlalu sulit. Sekolah saja terus yang penting ada biayanya.
Namun, yang disayangkan adalah sederetan gelar dari sebagian orang juga kebanyakan hanya untuk menyelamatkan diri masing masing.
Hingga kini saya menilai Indonesia belum memiliki barometer yang jelas untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan nadional.
Kawan saya yang belajar di luar negeri begitu membanggakan kondisi masyarakat disana. Ia menilai sistem pendidikan di negara tempatnya belajar sangat maju dan modern. Namun demikian, saat ia kembali ke tanah air tidak bisa berbuat apa-apa. Ini ibarat seseorang yang pergi berhaji ketika pulang ke tabah air ia hanya senang dengan gelar hajinya, tetapi tidak pernah memahami makna dari kegiatan ibadah hajinya itu sendiri. Lalu, apa bedanya dengan yang sekolah hanya karena mengejar gengsi?
Menurut saya, budaya antri di masyarakat adalah salah satu keberhasilan pendidikan. Menolong dengan tulus ikhlas, menghormati orang tua, tertib berlalu lintas, belajar mendengarkan orang lain yanh berbicara, menghormati privasi orang lain, tidak mengambil barang yang bukan miliknya, tidak buang sampah sembarangan, berpola hidup sehat dan bersih, malu jika melakukan kesalahan, mengakui jika berbuat salah, bertanggungjawab atas perbuatannya adalah barometer berhasil tidaknya sebuah sistem pendidikan dalam skala bermasyakat dan berbangsa. Jika saat ini kita jauh dari itu, maka percayalah, kita semua adalah generasi yang mengabadikan kegagalan pendidikan.
Sederhananya kita tidak perlu mengubah kurikulum yang sudah ada. Kebiasaan di negeri ini setiap ganti menteri, maka ganti kurikulum dan ganti buku panduan. Hal itu mengesankan adanya perang penerbit dan percetakan. Para guru sebaiknya cukup menitip 5 s.d. 10 menit saja setiap akan memulai mata pelajaran atau di sela sela pelajaran memberikan motivasi dan harapan kepada siswa. Katakan kepada siswa bahwa kita bisa bangkit dari keterpurukan dalam skala berbangsa dan bermasyarakat.
Sampaikan kepada mereka bahwa ilmu matematika kalian akan hampa manakala kalian tidak bisa berhitung dengan benar dalam menentukan sikap hidup. Nilai tinggi kalian akan percuma jika dalam kehidupan bertetangga dan berteman tidak bernilai. Apa gunanya nilai etikamu besar sementara kalian tidak bisa mengantre? Apa guna nilai agama tinggi jika kalian tidak saling menghormati dengan tetangga, tidak menyayangi anak yatim dan fakir miskin? Tidak berarti apa-apa nilai bahasamu yang sangat baik ketika kalian berbicara menyakiti orang lain apalagi orang tua. Dan Percayalah, kalian tidak akan pernah bahagia manakalai kebahagiaan itu hanya milik kalian sendiri.
Saya percaya, khususnya buat guru dan para pejuang pendidikan di negeri ini bahwa tugas mengajar dan administrasi sangat menumpuk dan menjadi beban berat sehingga tidak jarang melupakan tugas kita sebenarnya, yaitu mendidik dan mencetak anak bangsa yang bermartabat. Untuk itu, usahakanlah di sela sela kesibukan kita untuk menyampaikan pesan moral dan akhlak yang mulia sebagai manusia yang bermartabat.
Saya tidak tahu pasti arah dari maksud tulisan suara orang tua, apakah kepada majalah ini…? berarti saya akan menulis :
bersyukur kita sudah memiliki media berupa majalah yang diberi nama Kita Merdeka Belajar (KMB) yang isinya yakin sebuah kumpulan karya dari anak anak dan orang tua yang memiliki bakat dan kemampuan khususnya dalam menulis, memiliki kepedulian dan rasa kebersamaan dalam memahami dan mengekspresikan gejala yang terasa di lingkungannya. Entah berupa tanggapan, harapan, cita-cita, atau sebuah karya dan keilmuan itu sendiri. ***
Oleh Imron Fenani